Friday, September 5, 2014

Rangkuman Perlawanan Melawan Kolonialisme

Perlawanan Melawan Kolonialisme


Ma Pel : Sejarah Indonesia

Kls : XI tkj

Kelompok 1 :
• Asep Saefullah
• Imam Rachmat N
• Aldi Mukhlis N
• Dwi Septian

A. Perlawanan Sebelum Tahun 1800



1. Perlawanan Rakyat Mataram

Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diizinkan mendirikan benteng(loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk Kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jendral VOC Jan Piterzoon Coen memerintahkan Van Der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Sultan Agung mempersiapkan serangan terhadap kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara, yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Kiai Upa Santa. Upaya serangan pertama gagal untuk menghalang mundur pasukan Belanda. Tidak kurang 1.000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut. Mataram mempersiapkan serangan kedua ini pun gagal. Selain kelemahan pasukan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said.

2. Perlawanan Rakyat Banten

Konflik dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda. Setelah sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang anti terhadap VOC segera menarik balan menyerahkan sebagian wilayah banten kepada VOC.

3. Perlawanan Rakyat Makasar

Di Pulau Sulawesi, perlawanan untuk mengusir kekuatan VOC juga tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan daerah lainnya di Nusantara, yaitu karena adanya konflik dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Nusantara. Misalnya konflik antara Sultan Hasanudin dari Makasar dengan Aru Pallaka dari Kesultanan Bone yang memberi jalan Belanda untuk menguasai Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi tersebut.
Untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanudin menduduki Sumbawa sehingga jalur perdagangan di Nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Oleh karena itu, penguasaan ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam melakukan aktifitan perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasanudin dan Belanda selalu terjadi. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Spelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanudin.
Untuk menghadapi Sultan Hasanudin, Belanda meminta bantuan kepada Aru Pallaka yang bersengketa dengan Sultan Hasanudin. Dengan kerjasama tersebut akhirnya Makasar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bonghaya pada tahun 1667 yang berisikan hal berikut :
(1) Sultan Hasanudin harus memberikan kebebasan kepada VOC untuk berdagang dikawasan Makasar dan Maluku
(2) VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur dengan pusatnya Makasar
(3) Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanudin dikembalikan kepada Aru Pallaka dan dia diangkat menjadi Raja Bone.

4. Pemberontakan Untung Surapati.

Untung ialah seorang budak dari Bali. Ia dibeli oleh pedagang dari Belanda dan dijadikan pegawai VOC. Kesalahan yang dibuatnya, yaitu menjalin hubungan dengan seorang gadis yang merupakan putri dari tuannya, sehingga dia dipenjara. Di dalam penjara ia memimpin teman-temannya untuk membongkar pintu penjara dan kemudian ia merampok orang orang Belanda. Untung kemudian menjadi buronan, Belanda selalu menemui kegagalan dalam menangkapnya.
Ketika bergerilya melawan VOC di wilayah Priangan dan melanjutkan perjalanan ke Cirebon, ia terlibat perkelahian dengan seorang pangeran Cirebon yang bernama Surapati. Untung dituduh telah melakukan pembangkangan terhadap Sultan Cirebon. Namun, ia selamat dari tuduhan tersebut dan Surapati yang kemudian dipersalahkan, dan akhirnya dihukum mati. Setelah kejadian itu, Untung dijuluki nama baru, yaitu dengan sebutan Untung Surapati.
Konflik lain terjadi antara Pangeran Pugar yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III atau Sunan Mas. Konflik ini terjadi karena perbedaan prinsip. Pangeran Pugar memihak Belanda, sedangkan Sunan Mas anti Belanda. Dalam konflik ini, tentu VOC memilih Pangeran Pugar.
Kemudian Pangeran Pugar dan VOC membuat perjanjian dan menandatanganinya di Semarang. Isi dari perjanjian tersebut, antara lain sebagai berikut.
(1) Seluruh daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian timur diserahkan kepada VOC.
(2) Pangeran Pugar dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8000 koyan beras kepada VOC.
(3) Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi sunan.
Karena telah berhasil memperoleh kemenangan, Pangeran Pugar dinobatkan menjadi susuhunan oleh VOC dengan nama Pakubuwono I.

B. Perlawanan Sesudah Tahun 1800



1. Perlawanan Sultan Nuku(Tidore)

Kesultanan Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, Sultan Nuku melakukan persiapan perang dengan cara meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan. Setelah itu, perjuangan Sultan Nuku untuk mengusir kekuatan Belanda tersebut dilakukan pula jalur diplomasi.

2. Perlawanan Patimura

Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil diduduki oleh barisan Patimura dan kawan-kawan. Setelah itu, Benteng Deverdijk dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg berhasil ditembak mati. Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et al. 2010 :28), bahwa : “Setiap penghuni benteng tersebut, termasuk Residen Van Der Berg beserta keluarganya tewas...”

3. Perang Paderi

Meskipun masyarakat Minangkabau sudah lama memeluk agama Islam tetapi sebagian besar dari mereka masih memegang teguh adat dan menjalankan kebiasaan lama. Kebiasaan seperti minum minuman keras, berjudi dan menyabung ayam masih banyak yang melakukannya, sekalipun dalam ajaran Islam termasuk perbuatan yang terlarang.
Bertolak dari kondisi tersebut, orang-orang yang baru pulang dari Mekah itu membulatkan tekad membersihkan agama Islam dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan dari adat yang masih dipegang teguh. Barang siapa melanggar ajaran agama dihukum dengan berat sekali. Kewajiban agama harus ditepati betul-betul. Orang-orang yang ikut gerakan tiga orang ulama itu juga berpakaian putih-putih sehingga disebut Orang Putih atau Orang Padri.
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825.
Sejak tahun 1830 kaum Padri mendapat bantuan dari kaum adat. Mereka mau bersatu dengan kaum Padri karena ingin mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda. Mereka sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi mereka adalah rodi, menyediakan keperluan Belanda, pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah mendapat bantuan dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot.
Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di Benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri.
Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah Kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.

4. Perang Bali

Pemerintahan di Bali, akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di Gelgel. Pada abad ke-17 ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah menjadi Sembilan kerajaan di antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar, Badung, Karangasem, dan Buleleng.
Salah satu hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum tawan karang. Menurut hukum itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda berada di Indonesia, Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka. sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :249), bahwa : “...di Bali berlakunya hukum tawan karang, yaitu hak dari Bali untuk merampas perahu perahu yang terdampardi pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung”. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.
Karena merasa diingkari, maka Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut. Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng. Karena itu Gusti Ketut Jelantik menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan, Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
(1) mengakui kekuasaan Belanda,
(2) hak tawan karang harus dihapus,
(3) memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak diindahkan, akhirnya Belanda menyerbu Buleleng. Sementara itu Karangasem memihak Buleleng, sehingga berkobar perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda mengajak berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah Gusti Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda. Karena serangan tersebut, Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya. Namun benteng Jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang. Namun serangan ke benteng Jagaraga dapat ditangkis. Pada tahun 1849 Belanda melakukan ekspedisi yang ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran meletus di sekitar benteng Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15 prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan demikian benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik. Perlawanan baru mengendor akhir abad ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali ditaklukkan Belanda.
Pada tahun 1904 sebuah kapal dagang Cina terdampar di pantai timur Badung. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk di situ. Cina lalu lapor kepada Belanda. Kerajaan Badung dipersalahkan oleh Gubernemen dan disuruh membayar denda. Perintah itu ditolak oleh raja Badung. Sikap raja Badung itu didukung oleh raja-raja Bali, sehingga pecah perang Bali-Belanda. Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habishabisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung diserang Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.

5. Perang Banjarmasin

Selain di Pulau Jawa dan Sumatra, pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai Pulau Kalimantan. Pada tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar, Kalimantan Selatan. Bahkan, pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Adam, raja Kerajaan Banjar. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa seluruh wilayah Kalimantan Selatan adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai.
Ketika sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin. Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat. Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultam, sedangkan Pangeran Hidayat menjadi mangkubuminya. Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama. Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar. Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat. Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron. Perlawanan lainnya dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat. Mereka berhasil merebut benteng Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai Barito.
Untuk mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran Hidayat, tetapi ditolak. Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860. Sejak itu, daerah tersebut daerah tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan karena kurang persenjataan. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
Beberapa saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun 1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah. Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.

No comments:

Post a Comment